MENGATASI BEBAN STUDI BERLEBIH DENGAN PENDEKATAN DINI BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE
I. BEBAN STUDI SISWA BERLEBIH
Negeri ini negeri sungguhan, Bung! Negeri di mana terdapat banyak pemuda berpotensi untuk mengubah dunia sebagaimana yang telah dikatakan dengan lantang oleh Soekarno, “Berikan saya sepuluh pemuda, maka saya akan mengubah dunia!”. Itulah gambaran pemuda yang sering disebut sebagai “agent of change” dan itu merupakan hal yang benar. Ironisnya, negeri kita diragukan dapat mengandalkan para pemudanya walaupun memiliki sumber daya manusia yang sangat banyak. Pemuda Indonesia cenderung memiliki self esteem (harga diri) yang rendah. Ada sesuatu hal yang membuat ‘pondasi’ ini rapuh. Salah satu hal yang begitu mempengaruhi pembangunan itu adalah pendidikan. Adakah sesuatu hal yang salah dari kependidikan negeri ini?
Anak-anak pergi ke sekolah dengan wajah yang tidak bahagia ditambah dengan tas yang menggelembung menempel pada punggung mereka. Masih adakah harapan bangsa ini yang bertumpu pada langkah-langkah kaki mereka jikalau untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka sendiri saja berat? Uang yang direlakan para orangtua demi sang anak berarti hanya sia-sia semata saja, toh, anak-anak tidak menyadari peran mereka untuk belajar. Inikah yang sesungguhnya terjadi?
Sesungguhnya seorang anak terlahir bagaikan selembar kertas putih sebagaimana yang telah dikemukakan John Locke (tabularasa). Begitu pula dengan kondisi anak-anak Indonesia, mereka terlahir dengan kemurniannya. Paradigma-paradigma terbentuk dari significance others atau figur otoritas (King, 2009) membentuk mereka memandang bahwa sekolah merupakan suatu tuntutan yang membebani dan sedikit kesenangan yang didapat dari sekolah.
Paradigma lainnya juga tertanam pada para orangtua. Berdasarkan observasi penulis, mereka memandang bahwa anak yang pintar adalah anak yang menguasai pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam. Ilmu-ilmu tersebut sangat didewa-dewakan dan menjadi tempat ekslusif bagi anak yang pintar. Apabila sang anak gagal dalam ulangan matematikanya, orangtua akan memarahi dan memaksanya untuk belajar lebih rajin padahal di lain pihak sang anak merupakan atlet remaja nasional. Ada lagi hal yang serupa yaitu dalam penjurusan di sekolah menengah atas, jurusan IPA lebih tinggi tingkatannya daripada jurusan IPS. Secara tidak langsung maka timbullah kasta-kasta yang membuat sistem pembelajaran tidak menarik lagi. Anak-anak yang dianggap tidak mampu mendalami pelajaran IPA dengan terpaksa didepak ke jurusan IPS yang kurang diminati. Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan lainnya dianaktirikan. Lalu buat apa tetap dipelajari apabila anggapan yang ada seperti itu?
Anak-anak sedari sekolah dasar dijejali oleh banyak mata pelajaran. Waktu yang mereka pakai untuk menghabiskan masa sekolah dasar pun terlampau jauh dari standar yang diberikan oleh UNESCO. Kita, bangsa Indonesia, membutuhkan waktu sebanyak 1400 jam untuk lulus sekolah dasar sedangkaan UNESCO membatasi waktu untuk itu hanya 800 jam hingga Kak Seto mengatakannya hal ini sebagai sesuatu yang kejam (www.kapanlagi.com). Hal ini membuat kejumudan bagi anak-anak. Bahkan jumlah anak-anak di sekolah nasional yang stres dan yang mau bunuh diri karena tertekan dengan jam dan kurikulumnya, kian hari kian meningkat, padahal biaya sekolahnya mahal. Tidakkah kita berpikir untuk membuat tempat pembelajaran sebagai tempat yang menyenangkan? Benarkah ada kesalahan pada sistem pembelajaran di Indonesia?
II. PENGURANGAN BEBAN STUDI SISWA DENGAN PEMINATAN SECARA DINI
Pikirkan kembali pernyataan Kak Seto yang menyatakan bahwa standar belajar UNESCO 800 jam per tahun untuk anak SD, sedangkan anak SD di Indonesia belajarnya mencapai 1.400 jam. Kejamnya luar biasa. Perefleksian itu terus berlanjut pada pernyataan Kak Seto mengenai istilah wajib belajar yang salah karena mengesankan bahwa belajar merupakan suatu kewajiban, bukanlah hak.
Belajar menurut kegunaannya yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (The Four Pillars of Education, UNESCO). Keempat kegunaan itu dapat menutupi kebutuhan manusia. Sebagai sesuatu yang dibutuhkan, seharusnya belajar dianggap sebagi hak bagi sang anak. Namun karena penyusunan sistem pendidikannya yang kurang sesuai, efek yang dihasilkan pun terasa sia-sia saja.
Selama ini siswa merasa terbebani dengan kurikulum yang ada (www.smamda.net). Penyusunan kurikulum yang tepat dan menyenangkan tentu akan menghasilkan output yang berkualitas sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di luar negeri. Amerika Serikat sebagai negeri yang maju dan berkuasa memposisikan pendidikan yang menyenangkan. Singapura mengajarkan para anak strategi perang Tsun Zu melalui komik. Sedangkan kita, anak Indonesia, dijejali banyak tugas-tugas yang tidak saling berkaitan. Mereka kehilangan kesenangan hidup.
Setiap orang memiliki proporsi kecerdasan yang sama tetapi setiap manusia memiliki jenis kecerdasan yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Howard Gardner dan disebut sebagai multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Keefektifan pendidikan pun dapat lebih terasa jauh lebih baik apabila pendidikan Indonesia menerapkan pendekatan multiple intelligence disambangi dengan minat yang kuat dari para siswa karena keduanya akan saling melengkapi. Multiple intelligence yang terdiri dari kecerdasan linguistik, logika-matematis, visual-spasial, kinestetik-jasmani, musikal, antarpribadi, intrapribadi, dan naturalis ini tidak dapat dimiliki oleh seluruh manusia dengan proporsi yang sama.
Motivasi siswa yang selama ini rendah dapat ditopang dan didorong sehingga memunculkan motivasi yang dulu pernah memudar di wajah para generasi muda Indonesia. Motivasi sangat diperlukan untuk menggerakan semangat siswa untuk belajar. Keterikatan antara pola pendekatan multiple intelligence dengan minat dikelola di dalam kurikulum.
Walaupun kurikulum Indonesia telah banyak berubah dari masa ke masa, tidak ada satu pun yang mengacu pada kesenangan siswa dalam belajar. Siswa dibebani dengan jam belajar yang tidak sesuai dan pelajaran yang terlalu memaksakan kehendak.
Kita diharapkan tidak membuang waktu para siswa untuk sesuatu yang sia-sia baginya. Yang terpenting adalah kita mengoptimalkan kemampuan siswa agar output yang dihasilkan juga bermanfaat. Perlu diingat bahwa manusia cenderung menyukai kesenangan dan menghindari ketidaksenangan –epicuranism- (King, 2009). Pernyataan yang berdasarkan teori epicuranism tersebut, terdapat pesan tersirat untuk mengajak siswa lebih aktif belajar dan bukan hanya sekedar tuntutan.
Peminatan sebagai kunci dalam menumbuhkan kesenangan-kesenangan tadi. Perubahan paradigma mengenai peminatan dimulai sejak SMA perlu diterapkan. Peminatan seharusnya dimulai sejak lebih dini lagi, sejak sekolah menengah pertama karena pada usia tiga belas tahun, manusia telah memiliki titik optimal antara tujuan dan persiapan karier (Grinder, 1973).
Maka tidak dapat dipungkiri bahwa peminatan dalam belajar telah dapat diterapkan sejak SD akhir atau SMP di mana para siswa bebas memilih mata ajar yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Diyakini tak akan ada kesia-siaan dalam metode pembelajaran ini. Siswa tidak merasa terbebani apabila mereka pergi ke sekolah dan tidak akan manghadapi tekanan yang besar saat mengerjakan tugas karena mereka menyukainya.
Apabila sistem pendidikan yang sekarang tetap dipertahankan, permasalahan pendidikan akan terus berlanjut. Anak yang sebenarnya pintar di bidang olahraga dapat dianggap bodoh hanya karena nilai matematikanya yang jelek, contoh primadona sepak bola, Ronaldinho. Self esteem yang rendah pun akan tetap bersanding di dalam pikiran bangsa Indonesia dan menyebabkan kemajuan bangsa tidak mengalami progres. Dengan menunjukkan kelebihan para siswa, mereka akan lebih termotivasi untuk lebih menyukai sekolah dan berprestasi.
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pendidikan bukanlah sebuah hal yang menakutkan karena pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi tiap-tiap manusia, terutama manusia muda yang perjalanan hidupnya masih panjang. Banyaknya sumber daya manusia menjadi peluang bagi Indonesia untuk unggul dan menunjukkan eksistensinya di muka internasional.
Kesalahan pendidikan Indonesia terletak pada kurikulum yang menempatkan mata pelajaran yang padat dan jam pelajaran yang terlalu lama. Hal ini dapat diatasi dengan penentuan minat dan bakat para siswa melalui tes psikologi di saat masa akhir sekolah dasar. Setelah itu mereka diberikan hak untuk merencanakan studi ke depannya. Ini sangat mungkin bagi mereka karena di saat seseorang memasuki masa adolescene ia telah dapat menentukan karier yang diminati sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Metode pembelajaran pun dibedakan antara anak yang dominan di visual-spasial dengan yang musikal dan lain sebagainya. Sebagai contoh, anak yang visual-spasial lebih menangkap apabila pengajaran dilakukan secara visual dan poin tersebut perlu ditekankan. Sebaiknya dilakukan perubahan cara ajar guru yang berbasis pada kurikulum modifikasi multiple intelligence ini untuk menyeimbangkan dan mendukung perubahan ini. Yang terpenting, mengubah mind set selama ini mengenai kasta-kasta ilmu pengetahuan dengan memandang tiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dan menghargai perbedaan itu.
SUMBER REFERENSI
Salim, Evita E. Singgih dan Soetarlinah Sukadji (ed.). (2006). Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Panduan.
Ormrod, Jeanne Ellis. (2003).Educational Psychology Developing Learners. New Jersey: Pearson Eduation.
Kapanlagi.com. “Kak Seto: Jam Belajar Anak SD Indonesia Lebihi Standar UNESCO”. www.kapanlagi.com (6 November 2009)
Swisma. ” Kurikulum Tidak Efektif - Pelajar Cenderung Stres”. http://www.harian-global.com (6 November 2009)
0 komentar:
Post a Comment
Cantumkan nama Anda ya sebelum berkomentar..